Secara umum sistem penanggulangan bencana yang saat ini sedang dikembangkan sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan, dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi “milestone” perubahan pendekatan penanggulangan bencana.
Tiga hal yang secara khusus dirombak oleh UU No. 24 tahun 2007 adalah:
1. Legalitas payung hukum. Upaya penanggulangan bencana memiliki payung hukum yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiatif yang terkait. Pada waktu sebelumnya penanggulangan bencana adalah sebuah inisiatif dan program, namun pada saat ini telah menjadi kewajiban legal.
2. Perubahan paradigma/mindset. Penanggulangan bencana bukan lagi sebuah tindakan reaktif dan terpisah dari inisiatif pembangunan. Pembangunan bencana pada saat ini perlu dilihat sebagai sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan.
3. Pengembangan kelembagaan. Lembaga dan sistem penanggulangan bencana melalui UU No. 24 tahun 2007 telah mendapatkan posisi yang lebih kuat sehingga diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dalam melaksanakan berbagai tahap penanggulangan bencana.
Paparan tata lembaga penanggulangan bencana seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut dengan memisahkan dua fungsi yaitu disaster council dan disaster agency.
Disaster council lebih berperan dalam pengembangan legal and regulatory framework serta mengembangkan enabling environment bagi stakeholders untuk berpartisipasi,
disaster agency adalah lembaga pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki otoritas penuh dan menjalankan fungsi komando.
Secara lebih rinci perubahan yang terjadi dalam sistem penanggulangan bencana di Indonesia setelah keluarnya UU No. 24 tahun 2007 tertera dalam tabel berikut ini:
URAIAN | SISTEM LAMA |
SISTEM BARU |
1 | 2 | 3 |
Dasar Hukum | Bersifat sektoral | Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah |
Paradigma | Tanggap darurat | Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi |
Lembaga | Bakornas PB, Satkorlak dan Satlak | BNPB, BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota |
Peran Masyarakat | Terbatas | Melibatkan masyarakat secara aktif |
Pembagian Tanggung Jawab | Sebagian besar pemerintah pusat | Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten |
| | |
Perencanaan Pembangunan | Belum menjadi bagian aspek perencanaan pembangunan | Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB) · Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) · Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB) |
Pendekatan Mitigasi | Kerentanan | Analilsa resiko (menggabungkan antara kerentanan dan kapasitas) |
Forum kerjasama antar pemangku kepentingan | Belum ada | National Platform (akan) |
|
| Provincial Platform (akan) |
Alokasi Anggaran | Tanggung jawab pemerintah pusat | Tergantung pada tingkatan bencana |
Pedoman Penanggulangan Bencana | Terpecah dan bersifat sektoral | Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB dan BPBD |
Keterkaitan Dengan Tata Ruang | Belum menjadi aspek | Aspek bencana harus diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang |
Sistem penanggulangan bencana seperti yang dimaksud UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya berbagai aturan pelaksana antara lain:
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana;
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana;
- Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemeritah dalam Penanggulangan Bencana;
- Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penggulangan Bencana Daerah;
- Peraturan-peraturan Kepala BNPB
mampu meletakkan satu sistem penanggulangan bencana baik untuk skala nasional maupun daerah. Namun di sisi lain, banyak isu dan kendala yang ditemukan dalam proses pelaksanaan sistem penanggulangan bencana, terutama untuk Pemerintah Daerah.
1. Masalah Kelembagaan
a) Bentuk, Tugas dan Fungsi Lembaga BPBD
Dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah diketahui bahwa badan ini memiliki fungsi melebihi fungsi-fungsi yang dimiliki oleh SKPD lain yang ada di daerah, karena memiliki tiga fungsi besar, yaitu fungsi koordinasi, komando sekaligus operasi/Pelaksana.
Umumnya SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) memiliki fungsi koordinasi saja, atau fungsi operasional atau fungsi komando dan koordinasi. Konsep kelembagaan ini merupakan tata kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang berbeda dari yang telah ada, karena fungsi BPBD diperkirakan akan mengambil beberapa fungsi yang dimiliki oleh SKPD lain yang selama ini diemban oleh sejumlah SKPD dan keadaan ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya tumpang tindih tupoksi penanggulangan bencana di lapangan.
Apabila sistem kelembagaan BPBD akan diterapkan, maka perlu dilakukan beberapa pengecualian dari sistem tata kelola yang telah ada.
b) Unsur Pengarah
Di dalam UU No. 24 tahun 2007 yang diikuti oleh Permendagri 46 Tahun 2009, Perka BNPN Nomor 3 Tahun 2008 dan Perda Kabupaten Badung Nomor 11 Tahun 2010 dinyatakan bahwa BPBD terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pengarah dan unsur pelaksana. Unsur pengarah sendiri terdiri dari pemerintah terkait dan kalangan professional dan ahli.
Suatu kondisi yang unik dan baru dalam sistem Pemerintah Daerah, karena tidak ada SKPD yang memiliki unsur pengarah, umumnya penyusunan kebijakan dan pertanggungjawaban kegiatan dilakukan langsung oleh Kepala Daerah melalui Sekda. Namun BPBD memiliki unsur pengarah yang difungsikan sebagai pengawas dan evaluator.
Tugas ini tentu saja akan berbenturan dengan tugas Bappeda dan alur laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah. Selain masalah wewenang dan tanggung jawab, unsur pengarah yang berasal dari kalangan profesional juga menimbulkan kesulitan tersendiri karena pembayaran gaji selama mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai bagian dari unsur pengarah tidak disertai dengan sistem pembayaran dan aturan kepegawaian yang jelas.
Masalah lain yang juga ditemukan dalam proses implementasi unsur pengarah ini adalah proses perekrutan dengan melalui proses fit and proper test di DPRD Kabupaten.
Tentu saja ini menjadi polemik sendiri, karena meskipun unsur pengarah bukan SKPD, tetapi berada di bawah komando Kepala BPBD dan biasanya untuk tingkat daerah proses pemilihan personal yang terlibat di dalam sistem pemerintah umumnya menjadi wewenang Kepala Daerah.
c) Anggaran BPBD
Pembentukan sebuah SKPD tentu saja memiliki konsekuensi terhadap alokasi anggaran bagi SKPD yang baru dibentuk, demikian juga dengan BPBD. Diperkirakan anggaran yang harus dialokasikan kepada BPBD akan sangat besar, jika ditinjau dari sisi tugas pokok dan fungsi yang diembannya.
Anggaran ini akan semakin besar mengingat adanya unsur pengarah dari kalangan professional serta proses rekrutmennya yang melibatkan DPRD.
2. Masalah Defenisi dan Status Bencana
Masalah selanjutnya yang juga harus diselesaikan dengan segera adalah terkait dengan definisi teknis operasional bencana serta status bencana. Hingga sekarang belum ada kesepakatan yang jelas dan terukur tentang apa yang disebut dengan bencana. Di samping itu juga belum ada kategori tentang status bencana, apakah termasuk bencana lokal, provinsi atau nasional.
Penetapan kategori status ini penting, karena akan terkait erat dengan sumber daya yang akan digunakan dalam mengatasi kejadian bencana, apakah hanya berasal dari APBD atau APBN atau dengan tambahan bantuan luar. Disamping itu, defenisi bencana yang operasional akan dapat digunakan oleh aparat pemerintah dalam menggunakan angggaran, termasuk dalam kategori dana cadangan.
Jika ukuran bencana tidak jelas maka dikhawatirkan pemerintah akan mengeluarkan dana secara sewenang-wenang atau sebaliknya apabila bencana tidak dianggap sebagai bencana, maka anggaran tidak dikeluarkan sehingga dikhawatirkan jumlah korban akan meningkat.
Dari pemaparan tersebut di atas, maka ada beberapa saran yang dapat dikembangkan dan ditindaklanjuti untuk menjembatani “masa transisi” perubahan sistem penanggulangan bencana yang lama ke sistem dengan dimensi baru dan menyempurnakan sistem baru tersebut, khususnya dalam hal kebijakan, strategi, dan operasi.
Tiga prinsip utama dalam penanggulangan bencana sebagaimana disebutkan dalam UU No. 24 tahun 2007 adalah:
· cepat dan tepat,
· prioritas, dan
· koordinasi dan keterpaduan.
Dalam melaksanakan ketiga prinsip tersebut, kelembagaan penanggulangan bencana (BPBD) harus dapat bertindak lintas sektor dan lintas wilayah serta memiliki rantai komando yang jelas dan efektif yang didukung oleh pendanaan yang memadai baik pendanaan dalam tahap Pra Bencana, Tanggap Darurat maupun Pasca Bencana.
Dalam kaitan kemampuan bertindak lintas sektor, pada saat ini beberapa Dinas Teknis dan beberapa SKPD di Kabupaten Bandung telah menjalankan fungsi penanggulangan bencana. Fungsi koordinasi telah dijalankan oleh unsur pimpinan daerah.
Keberadaan BPBD secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola kerja dan koordinasi yang telah berjalan. Karena itu, pendirian BPBD perlu dikelola secara bijaksana dan bertahap serta dilengkapi berbagai peraturan yang mendukung kemampuan bertindak lintas sektor salah satunya adalah dengan Peraturan Daerah Kabupaten tentang Penanggulangan Bencana.